Jumat, 28 Maret 2008

Guru-guruku

Tiba-tiba saya jadi begitu melankolis: teringat guru-guru sejak SD sampai SMA.
Di SD Wonogiri 8 ada beberapa sosok yang berjasa amat besar membentuk diri saya. Ada Bu Katiyem, Bu Kadiyamah, Bu Suginem, Pak Marino, dan masih banyak lagi yang lain.
Di SMP Negeri 1 ada Bu Haryati yang pernah menjadikan saya sebagai ''anak emas''-nya sehingga membuat iri beberapa teman. Ada pula Pak Mufid yang memberi jalan ke dunia kepenulisan lewat sumbangan buku kecil ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, ada Pak Pandoyo yang sangat saya takuti gaya galaknya, dan .... saya mulai lupa pada nama-nama mereka.
Begitu juga di SMA Negeri 1. Ada Pak Larno, guru matematika yang terus terang tidak saya sukai; Pak siapa saya lupa yang membimbing kemampuan seni lukis saya; serta yang lain-lain.
Apakah mereka masih sugeng, menikmati hari tua sembari momong cucu-cucu ? Saya berdoa bagi yang masih sugeng semoga Tuhan memberi limpahan rezeki dan rahmat, bagi yang sudah tilar donya semoga mereka ditempatkan di sisi-Nya.
Di samping itu, ingat beberapa nama teman putri yang pernah kutaksir secara diam-diam. Namun itu off the record saja karena bisa berdampak kurang enak hehehehehehehe ........

Kamis, 27 Maret 2008

Rindu Tarkam

Saya amat beruntung pada tahun 1980-an ketika masih duduk di bangku SMP, Wonogiri tengah dilanda demam sepak bola. Di kampung saya tiap RW punya tim sepak bola.
Saya ikut klub yang dilatih almarhum Bapak. Agak KKN sedikit, saya masuk tim utama ketika melawat ke luar kampung atau mengikuti turnamen antarkampung (tarkam).
Bangga betul waktu itu meski cuma jadi pemain kelas kampung. Pertarungan di lapangan sering berlanjut di luar lapangan.
Saya ingat betul, waktu itu hampir setiap hari berlatih. Gairah masa puber betul-betul dihabiskan di lapangan sepak bola.
Selain mengikuti tarkam di luar kecamatan, yang paling ditunggu-tunggu adalah tarkam di kampung sendiri pada peringatan kemerdekaan.
Seru. Ada dua RW unggulan yang punya pemain-pemain bagus dan saling bergantian menjadi juara. Hadiahnya tak seberapa, tetapi rasa bangganya tak ternilai.
Dalam tarkam semacam itu tak jarang muncul keributan-keributan kecil akibat persaingan yang sedemikian ketat.
Saya rindu tarkam beserta segala romantikanya itu.

Selasa, 25 Maret 2008

Brigade Kecil, Mayor, Epistoholik .....

Masih ingat benar, tahun 1980-an di Wonogiri ada Brigade Kecil, kelompok yang dimotori Mayor Haristanto. Kelompok itu menggairahkan Wonogiri lewat kartun berupa pameran dan kegiatan lainnya.
Waktu itu saya mencontoh aktivitas mereka dengan mencoba-coba membuat kartun. Karya-karya itu hanya saya simpan atau paling banter saya titipkan ke majalah dinding sekolah.
Setelah era Brigade Kecil nyaris tidak lagi ada gebrakan-gebrakan fenomenal. Mudah-mudahan penilaian saya ini salah, karena sejak paro pertama 1990-an saya ikut berdiaspora ke daerah lain hingga sekarang.
Lalu Mayor muncul lagi di Solo dengan kegiatan-kegiatan kreatif yang mungkin di mata awam agak nyeleneh. Misalnya mengoordinasi anak-anak SD menyapu Jalan Slamet Riyadi, parade bedug di atas kereta api, dan sebagainya.
Bersama kakaknya, Bambang Haryanto, ia memprakarsai ''pembangunan'' suporter sepak bola yang beretika, punya komitmen dan intelektualitas, serta tentu saja menghibur.
Pasoepati pun identik dengan Mayor Haristanto mulai era senjakala Arseto, Persijatim, hingga Persis sekarang. Lewat model penggalangan suporter itu Bambang Haryanto memenangi Mandom Award 2004.
Jauh sebelum itu Bambang Haryanto sudah membuat saya terkagum-kagum lewat gerakan epistoholik atau ''gila'' menulis surat pembaca di media, terutama media cetak.
Kalau Brigade Kecil dan Pasoepati identik dengan Mayor, Epistoholik Indonesia tak bisa lepas dari nama pengompornya: Bambang Haryanto.
Kini ''tiwul'' Bambang Haryanto kembali ke kampung halamannya, Kajen tercinta, sembari bergiat lewat blognya yang bejibun.
Saya iri sekaligus salut dan bangga pada tetangga kampung itu (rumah orang tua saya di Donoharjo sebelah selatan penjara, dekat GOR Giri Mandala).
Mayor, Bambang, Broto Happy (wartawan Bola), dan Basnendar adalah ''tiwul-tiwul'' yang pantas diteladani, minimal bagi diri saya.

Senin, 24 Maret 2008

Menjual Wonogiri

Ada berita yang menyebutkan investor dari China meminati Wonogiri. Pekan lalu utusan mereka mula memeta kawasan hutan Kethu yang direncanakan untuk industri.
Rasanya senang juga. Di era sekarang, pemerintah daerah memang harus bisa memosisikan diri sebagai pemasar, penjual, atau bahasa kerennya marketer.
Semua potensi perlu digali. Kalau punya modal, tangani sendiri. Jika modal kurang, kerja sama dengan pihak lain. Bila tidak punya modal, ya cari investor.
Investasi saat ini sudah menjadi mainan global. Teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian canggih. Tinggal klik, seluruh dunia ada di genggaman.
Soal potensi, saya kira Wonogiri lumayan kaya. Ada tambang galian C, perikanan, wisata, dan sebagainya. Sumber daya manusia ? Saya yakin hebat.
Tinggal pemasarnya sekarang yang berperan. Mau kerja keras, berkeringat, berbusa-busa, atau tidak.
Meski ada kerja sama promosi daerah-daerah seeks Karesidenan Surakarta, Wonogiri perlu proaktif menawarkan apa yang bisa digarap.
Semua demi kemajuan daerah sembari menciptakan lapangan kerja agar tidak makin banyak ''tiwul'' merantau.
Siapa tahu jika investor-investor itu telah merealisasi rencananya, ''tiwul-tiwul'' yang berserakan di seantero Tanah Air itu mau pulang secara sukarela.

Sabtu, 22 Maret 2008

Apakah Wonogiri Masih Butuh Saya ?

Pertanyaannya adalah apakah Wonogiri masih membutuhkan saya ? Apalah artinya saya dibandingkan dengan kota kabupaten yang sekarang sudah berlangkah-langkah lebih maju itu.
Walaupun ''tiwul-tiwul'' yang bertahan tidak sebanyak yang pergi ''mencari sesuap nasi'', terbukti mereka telah mampu berbuat banyak.
Paling tidak itu mengurangi beban '' dosa'' saya sebagai si Malin Kundang yang tak tahu untung. Sejak kecil menikmati air dan tanahnya, setelah bisa jalan sedikit langsung ngacir.
Tetapi memang kalau dipikir-pikir apa yang bisa saya perbuat di tanah kelahiran itu ? Keahlian terbatas, begitu juga modal-modal lain yang dibutuhkan agar bisa berperan serta dalam ''membangun''.
Paling-paling cuma bisa menjadi pegawai pemerintah, itu pun meragukan karena dari segi kepribadian dan kepintaran saya tak cocok di situ.
Jadi yang bisa saya lakukan adalah berdoa, sembari melihat dari kejauhan

Kamis, 20 Maret 2008

Ke Mana ''Tiwul-tiwul'' Itu ?

Wonogiri kehilangan banyak mutiara yang dalam konteks ini saya sebut ''tiwul'' untuk menggambarkan bahwa citra kemiskinan itu sebenarnya amat berharga.
Biasanya, setelah lulus perguruan tinggi ''tiwul-tiwul'' itu berdiaspora atau menyebar ke kota-kota lain untuk mengembangkan diri (sebagai pengganti halus mencari sesuap nasi).
Kalau saja ''tiwul-tiwul'' cemerlang itu sebagian mau kembali, istilahnya membangun kampung halaman sendiri, tentu Wonogiri akan cepat melaju.
Tetapi tanpa banyak ''tiwul'' pun Kota Gaplek atau Kota Gandul itu kini telah maju. Mungkin yang dibutuhkan adalah sumbangan pemikiran dan sumbangan dana untuk membantu percepatan kemajuannya.
Jika seorang ''tiwul'' menyumbang Rp 10.000 saja per bulan, betapa besar dampak yang ditimbulkan.
Namun ke mana ''tiwul-tiwul'' yang sebagian telah sukses sebagai pengusaha, birokrat, dan berbagai profesi itu ?

Rabu, 19 Maret 2008

Cinta Saya kepada Wonogiri

Banyak orang asal daerah-daerah di sekitar Solo malu mengakui kampung halaman dan tanah kelahirannya. Kalau ditanya, banyak yang menjawab berasal dari Solo.
Sejak awal saya bangga pada Wonogiri yang telah memberi kehidupan dan pengalaman tak ternilai, sehingga tak segan-segan bilang: saya asal Wonogiri !
Namun bisa dimaklumi kalau ada yang malu mengakui kampung halamannya di Wonogiri, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Klaten, dan sebagainya.
Tahun 1960-an sampai 1980-an daerah-daerah itu, khususnya Wonogiri, memang dikenal minus dan miskin.
Sekarang ? Kebangetan kalau masih merasa malu. Daerah-daerah miskin itu telah berkembang maju.
Tiwul yang pernah menjadi salah satu cap kemiskinan bagi Wonogiri, kini jadi komoditas ''mahal''. Saya selalu merasa rindu makan nasi putih campur tiwul dengan lauk tempe goreng dan gudangan.