Masih ingat benar, tahun 1980-an di Wonogiri ada Brigade Kecil, kelompok yang dimotori Mayor Haristanto. Kelompok itu menggairahkan Wonogiri lewat kartun berupa pameran dan kegiatan lainnya.
Waktu itu saya mencontoh aktivitas mereka dengan mencoba-coba membuat kartun. Karya-karya itu hanya saya simpan atau paling banter saya titipkan ke majalah dinding sekolah.
Setelah era Brigade Kecil nyaris tidak lagi ada gebrakan-gebrakan fenomenal. Mudah-mudahan penilaian saya ini salah, karena sejak paro pertama 1990-an saya ikut berdiaspora ke daerah lain hingga sekarang.
Lalu Mayor muncul lagi di Solo dengan kegiatan-kegiatan kreatif yang mungkin di mata awam agak nyeleneh. Misalnya mengoordinasi anak-anak SD menyapu Jalan Slamet Riyadi, parade bedug di atas kereta api, dan sebagainya.
Bersama kakaknya, Bambang Haryanto, ia memprakarsai ''pembangunan'' suporter sepak bola yang beretika, punya komitmen dan intelektualitas, serta tentu saja menghibur.
Pasoepati pun identik dengan Mayor Haristanto mulai era senjakala Arseto, Persijatim, hingga Persis sekarang. Lewat model penggalangan suporter itu Bambang Haryanto memenangi Mandom Award 2004.
Jauh sebelum itu Bambang Haryanto sudah membuat saya terkagum-kagum lewat gerakan epistoholik atau ''gila'' menulis surat pembaca di media, terutama media cetak.
Kalau Brigade Kecil dan Pasoepati identik dengan Mayor, Epistoholik Indonesia tak bisa lepas dari nama pengompornya: Bambang Haryanto.
Kini ''tiwul'' Bambang Haryanto kembali ke kampung halamannya, Kajen tercinta, sembari bergiat lewat blognya yang bejibun.
Saya iri sekaligus salut dan bangga pada tetangga kampung itu (rumah orang tua saya di Donoharjo sebelah selatan penjara, dekat GOR Giri Mandala).
Mayor, Bambang, Broto Happy (wartawan
Bola), dan Basnendar adalah ''tiwul-tiwul'' yang pantas diteladani, minimal bagi diri saya.